Perempuan Bicara 20.000 Kata per Hari, Itu Mitos!
Aku ngga suka banyak bicara, aku normal ngga sih?
Terkadang ada pertanyaan di hati ini,
“Orang lain kalau ngobrol bisa seru ya, kok aku ngga bisa?”
“Orang-orang kalau ngomong bisa lama dan kayaknya ada aja yang bisa dibicarakan, kok aku ngga bisa?”
“Aku ngga punya ide mau ngomong apa, aku ngga punya ide untuk nimpalin omongan orang lain. Aku lebih banyak diam dalam keramaian orang mengobrol kesana kemari. Aku normal ngga sih?
Sepertinya itu bukan hanya pertanyaan di hati saya. Ada teman yang menceritakan kondisi serupa seperti itu. Akhirnya sampailah dia pada pertanyaan, “Aku normal ngga sih?”
Jika sudah mempertanyakan kondisi mental diri apakah normal atau tidak, artinya kondisi itu sudah cukup mengganggu perasaan. Apakah Sahabat juga pernah mengalaminya?
Dewasa ini, kondisi seseorang yang tidak bisa ramai, tidak banyak bicara seringkali dikatakan sebagai orang yang mempunyai luka batin. Tapi benar kah seperti itu? Tentu saja kita tidak bisa menghakimi orang lain, bahwa dia memiliki masalah mental atau mempunyai luka batin hanya karena dia tidak banyak bicara.
Baca juga: Ketika Anak Sulit Dinasihati
“Penggunaan angka-angka fantastis bukanlah hal baru. Sempat populer bahwa perempuan berbicara 16.000 – 21.000 kata sehari. Yang lainnya, mengatasnamakan fithrah maupun otak, ada pula yang menyebar dongeng bahwa perempuan berbicara 24 ribu – 50 ribu kata sehari (sekarang sudah jarang disebut). Bahkan sebagian ustadz pun ikut-ikutan karena terpengaruh qil wa qal (“katanya konon katanya” yang tidak jelas dasar ilmiahnya). Ada yang bahkan mencari-carikan ayat untuk pembenaran, padahal ayat tersebut bukan dalil yang mensifati perempuan sangat banyak bicara. Sedemikian heboh sehingga kalau ada perempuan yang sangat menjaga lisannya untuk tidak banyak bicara seolah tidak normal.” Demikian deskripsi dalam video Ustadz Mohammad Fauzil Adhim. Beliau membahas dengan detail persoalan ini. Video lengkapnya bisa disimak di https://www.youtube.com/watch?v=2qjfkB0hu54.
Beliau menekankan di awal akan perbedaan antara talk dan speak. Karena 20ribu kata dalam sehari itu bukan dalam konteks speaking, melainkan konteksnya talking. Speaking itu sifatnya lebih formal, fokusnya pada orang yang memproduksi kata-kata, biasanya terstruktur dan terencana. Sedangkan talking itu percakapan, sifatnya informal, spontan, fokus pada satu pembicara dan minimal satu orang pendengar, seperti kalau orang bertemu teman, mengobrol.
Istilah yang umum kita dengar adanya public speaking bukan public talking. Guru atau dosen mengajar, itu konteksnya speaking. Seorang ibu berbicara pada anak, menasihati anak, itu juga bukan talking. Jadi itu tidak masuk ke dalam konteks 20ribu kata per hari yang sedang dibahas.
Baca juga: Bersama Anak, bukan di Dekat Anak: Menganyam Kedekatan
Dari mana asalnya mitos ini?
Mitos ini rupanya sudah sejak lama. Pada tahun 1993, terbitlah buku Love for a Lifetime yang ditulis oleh Dr. James Dobson. Dalam buku ini dijelaskan bahwa wanita berbicara 50.000 kata per hari, sedangkan laki-laki hanya 25.000 kata per hari. Di tahun yang sama, ada lagi tulisan dari Gary Smalley, seorang konselor perkawinan. Ia menuliskan bahwa rata-rata pria berbicara 12.000 kata per harinya, sedangkan perempuan 25.000 sampai 30.000 kata.
Kemudian ada buku yang lebih popular berjudul The Female Brain yang terbit tahun 2006. Buku ini ditulis oleh seorang professor bernama Louann Brizendine, seorang neuropsikiater Amerika. Buku ini terdiri dari 280 halaman, sehingga menjadi rujukan yang banyak dipercaya. Dalam buku ini dijelaskan bahwa wanita berbicara 20.000 kata per hari, sedangkan pria berbicara 7.000 kata per hari. Ini juga kan yang sering kita dengar di berbagai kesempatan, atau kita baca di berbagai tulisan?
Ustadz Fauzil Adhim kemudian memaparkan cerita tentang buku The Female Brain yang mengguncang itu. Angka-angka yang disebutkan dalam buku itu kemudian menarik respon dari para peneliti. Ada yang melakukan penelitian dengan melibatkan subyek sebanyak 210 mahasiswi dan 186 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang tersebar di Texas, Arizona, dan Mexico. Penelitian ini menggunakan EAR (Electronically Activated Recorder).
Alat EAR akan otomatis merekam ketika ada suara, dan akan berhenti merekam kalau tidak ada suara. Alat itu bisa disimpan di saku subyek penelitian dalam dompet seperti wadah kacamata. EAR mengambil sampel noise selama 30 detik setiap 2,5 menit. Hasil rekaman ini adalah sampel, lalu dikalkulasi. Operator tidak dapat menjeda rekaman.
Dari hasil penelitian ini, mereka memperkirakan jumlah total kata yang diucapkan setiap subyek setiap harinya. Diasumsikan subyek terjaga selama 17 jam dari 24 jam. Pada sejumlah besar sampel, rata-rata jumlah kata yang diucapkan pria dan wanita hampir sama. Pria variabilitasinya lebih luas. Yang paling irit, bicara hanya 500 kata per hari. Sedangkan yang paling cerewet, bicara lebih dari 20.000 kata per hari.
Perlu diingat, bahwa itu adalah asumsi dalam penelitian. Ringkas kata, pada akhirnya jumlah kata yang diucapkan laki-laki dan perempuan ternyata hampir sama. Perempuan bicara 16.216 kata per hari, sedangkan laki-laki bicara 15.669 kata per hari. Angka ini diperoleh dari sampel yang digunakan, belum dicek bagaimana jadinya jika subyek diambil dari luar kampus. Karena kalau di kampus, orang perlu sering bertemu dan berdiskusi. Sehingga meskipun sudah ada hasil riset, tetap belum berani meng-claim tentang jumlah kata per hari tersebut.
Mark Liberman, seorang professor fonetik di University of California, pad awalnya percaya dengan buku The female Brain. Ia penasaran, lalu membaca referensi-referensi yang dicantumkan di buku itu. Mark Liberman menelusuri bab demi bab. Namun, ia menemukan bahwa yang dibahas di dalam buku itu tidak ada di referensi-referensi yang dicantumkan. Padahal buku itu terdiri dari 280 halaman dan sepertiganya adalah daftar referensi.
Sepertiga bagian buku itu adalah catatan literature tapi tanpa index. Karena literature yang sicantumkan itu tidak membahas sama sekali apa yang ditulis dalam buku The female Brain, maka itu sifatnya hanya atribusi atau sekedar tempel referensi saja.
Setelah Mark Liberman membahas hasil risetnya, ternyata Profesor Louann Brizendine yang adalah seorang wanita itu memilih untuk diam. Padahal dia menulis bahwa kalau perempuan tidak bicara, itu artinya tertekan secara emosi. Sementara penerbitnya mengeluarkan klarifikasi bahwa daftar referensi itu hanyalah rekomendasi bacaan lebih lanjut, bukan rujukan. Louann Brizendine kemudian menghapus mitos itu di edisi berikutnya.
Yang menjadi persoalan adalah, masih beredar juga buku The Female Brain yang masih memuat mitos itu. Sehingga mitos ini masih digunakan di berbagai kesempatan.
Baca juga: Tipe Orang Tua dalam Hal Pendidikan Anak
Fokuslah bukan pada jumlah kata
Sudah terjawab ya, bahwa wanita bicara 20.000 kata per hari itu mitos. Jadi untuk wanita yang pendiam atau ngga suka banyak bicara, tak perlu merasa ngga nyaman, apalagi merasa ngga normal.
Nah, khusus untuk seorang ibu nih, fokusnya bukan pada jumlah kata per hari, tapi pada hubungan (relationship). Yang perlu dikembangkan adalah hubungan, bukan sekedar interaksi. Yang menjadi masalah itu kalau ibunya rame, banyak bicara, tapi anak tidak pernah diajak ngobrol. Bagaimana bisa membangun relationship?
#wanita #20ribukataperhari #mitoswanitabicara20ribukata #mohammadfauziladhim #tarbiyahislamiyah #pendidikan #pendidikanislam #fauziladhim #parenting #parentingsilami





